Minggu, 25 Februari 2018

Praaksara: Peninggalan Zaman Paleolitik dan Mesolitik atau Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana Serta Lanjut


Pernahkah kita berpikir mengenai peralatan masak yang ada di dapur ibu kita kemudian upacara pemakaman yang ada di Tanah Toraja hingga kepercayaan pada suatu roh yang saat ini masih ada di lingkungan sekitar kita, tahukah kalian bahwa semua hal tersebut berasal dari kehidupan masyarakat zaman Praaksara. Lalu apakah itu zaman Praaksara? Kata Praaksara di dalamnya terdapat dua arti yaitu pra yang artinya sebelum dan aksara yang artinya tulisan, jadi apabila ditarik kesimpulan Praaksara adalah zaman dimana kehidupan manusia purba belum mengenal tulisan hingga mengenal tulisan. 
Zaman Praaksara menurut konsep lama (model teknologis) oleh Callensfels, Herne Geldern, Hoop dan Heekeren tahun 1924 dibagi menjadi 4 zaman yaitu:
1.      Peleolitik
2.      Mesolitik
3.      Neolitik
4.      Perunggu-besi/logam awal/paleometalik
Kemudian muncul konsep baru (model sosial ekonomis) tahun 1970 ketika diadakan Seminar Sejarah Internasional di Yogyakarta. Konsep ini dibawa oleh R.P Soeyono, konsep tersebut yaitu:
1.      Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2.      Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3.      Masa bercocok tanam
4.      Masa perundagian
 Adapun manusia purba yang hidup pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana yaitu
1.      Meganthropus Palaeojavanicus
2.      Phitecanthropus Mojokertensis
3.      Phitecanthropus Erectus
4.      Phitecanthropus Soloensis
5.      Homo Wajakensis
6.      Homo Sapiens
Perlu diketahui hasil kebudayaan masa Paleolitik hingga masa peleometalik mengalami evolusi. Evolusi tersebut dimulai dari sikap tubuh dan cara bergerak, tangan serta kepala. Tangan merupakan anggota tubuh yang penting karena dimanfaatkan untuk membuat sesuatu atau sebuah alat. Alat-alat yang mereka ciptakan seiring dengan berjalannya waktu juga telah mengalami peningkatan mulai dari bentuk hingga fungsinya. Mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Alat-alat apa saja yang telah mereka hasilkan, untuk itu berikut pembahasannya...

1.      Masa Paleolitik/masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Pada masa paleolitik alat-alat yang dihasilkan masih sangat sederhana dan ujungnya masih kasar. Semua alat-alat yang dihasilkan memiliki fungsi masing-masing.
a.      Kapak Perimbas/Penetak

Pada umumnya yang namanya kapak pasti memiliki tangkai kapak namun pada kapak perimbas ini tidak memiliki tangkai kapak. Salah satu ujung kapak perimbas dibuat runcing kemudian ujung-ujung yang lain dibuat tumpul fungsinya untuk tempat genggaman. Cara pemakaian Kapak Perimbas dengan digenggam menggunakan jari-jari tangan. Fungsi alat ini digunakan untuk menebang kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Jenis manusia purba yang menggunakan Kapak Perimbas adalah Pitecanthropus. Alat ini ditemukan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), Lahat (Sumatra Selatan) dan paling banyak ditemukan di Pacitan, maka oleh Ralp Von Koenigswald disebut dengan kebudayaan Pacitan.

b.      Alat Serpih Bilah


Alat serpih merupakan alat yang terbuat dari batu chalcedon. Bentuk alat ini mirip dengan kapak perimbas namun ujung-ujungnya dibuat tajam dan batunya sedikit memipih. Fungsi dari alat ini yaitu digunakan untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan. Alat serpih banyak ditemukan di Sungai Baksoka dan masih termasuk dalam kebudayaan Pacitan.

c. Alat Tulang
 
Salah satu peninggalan Paleolitikum selain dari batu ada alat tulang. Alat ini berasal dari tulang binatang yang mereka jadikan buruan. Biasanya berasal dari binatang seperti rusa, babi dan lainnya. Bentuknya memanjang dan ujungnya dibuat tajam atau bergerigi. Fungsi dari alat ini untuk mengambil ubi dan keladi dari dalam tanah serta untuk mengangkap ikan. Alat-alat ini ditemukan di Ngandong Blora Jawa Tengah. Selain itu dalam penggolongan alat tulang di dalamnya terdapat alat sudip, mata tombak, alat dari duri ikan pari dan batu-batu bundar yang fungsinya bola diikat kemudian dilempar pada stegodon.

2.    Masa Mesolitik/Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut 
Pada masa mesolitik penelitian ditekankan pada pantai dan goa karena banyak ditemukan situs-situsnya. Mereka sudah mulai hidup semi menetap dan mulai mengenal penguburan. Adapun alat-alat yang dihasilkan antara lain
a.         Kjokkenmodinger (sampah dapur) 

Kjokkenmodinger merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Denmark yaitu Kjokken yang berarti sampah dan modding yang berarti dapur, jadi kjokkenmodinger adalah sisa makanan manusia purba yang telah menjadi fosil berupa timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput dengan ketinggian mencapai  ± 7 meter. Kjokkenmodinger banyak ditemukan di sepanjang tepi pantai Timur Sumatera antara Daerah Langsa hingga Medan. Serta ditemukan sebuah kapak genggam oleh P.V. Van Stein Callenfels tahun 1952, kapak yang ditemukan berbeda dengan masa paleolitik.  

b.        Kapak Genggam Sumatera

Kapak Sumatera atausumatralith merupakan sejenis kapak genggam yang terbuat dari batu yang dipecah atau dibelah. Kapak genggam ini banyak ditemukan di Kjokkenmodinger sepanjang Pantai sumatera Timur Laut antara Langsa (Aceh) dan Medan (Sumatera Utara). 

c.         Gua (Abris Souce Roche) dan Seni lukis

Gua Lowo


Abris Souce Roche merupakan tempat tinggal manusia pada masa Mesolitik yang memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penelitian pertama dilakukan di goa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur oleh P.V. Van Stein Callenfels tahun 1928-193. Alat-alat yang ditemukan di dalam gua antara lain ujung panah, alat serpih bilah, batu pipisan dan alat dari tulang. Penelitian mengenai lukisan dilakukan di dinding goa Sulawesi Selatan oleh Heekeren tahun 1950 di Leang Patta E. Di dinding goa terdapat lukisan cap tangan dan hewan babi rusa dengan menggunakan cat merah dari adanya bukti tersebut kuat dinyatakan bahwa manusia purba pada masa itu telah mengenal seni lukis.  

d.        Penguburan

Masyarakat masa Mesolitikum di Indonesia telah mengenal sistem kepercayaan dan penguburan mayat. Lukisan yang ada di Pulau Seram dan Papua merupakan contoh gambar yang dianggap memiliki kekuatan magis untuk penolak roh jahat. Bukti-bukti penguburan pada masa mesolitik ditemukan Goa Lawa Sampung Ponorogo. Mereka yang telah meninggal dibekali dengan alat-alat keperluan sehari-hari serta perhiasan dari batu.  


Praaksara: Peninggalan Zaman Neolitik atau Bercocok Tanam


Pada masa ini dikatakan sebagai tonggak pembaruan inovasi-inovasi baru yang menentukan peradaban dunia. Alat-alat yang dihasilkan dari yang sederhana kini sudah semakin kompleks. Perubahan yang mendasar terjadi pada beberapa aspek yaitu:
a.    Aspek teknologi
1.    Kapak Lonjong
Pada masa neolitik kapak yang dihasilkan sudah mengalami perubahan dari yang awalnya kasar dan berbentu seperti pecahan batu kini teksturnya sudah halus dan berbentuk lonjong dari ukuran kecil hingga besar. Nama kapak lonjong didasarkan pada penampangnya yang lonjong. Kapak lonjong ditemukan di Siram Gorong Tanimbar Papua, Leti Minahasa dan Serawak.

2.    Kapak Beliung Persegi
Kapak beliung persegi dikenalkan oleh peneliti Von Heine Geldern berdasarkan penampang alat-alatnya yang berbentuk persegi dan trapesium. Selain berguna sebagai kapak, kapak persegi juga dapat digunakan untuk keperluan lain bergantung pada ukuran dan bentuknya. Kapak persegi berukuran kecil digunakan untuk memotong kayu sedangkan kapak persegi berukuran besar berbentuk beliung digunakan sebagai alat cangkul.    

3.    pakaian
Adanya kemajuan dari segi alat yang digunakan pasti terdapat kemajuan dari segi yang lainnya. Masyarakat Praaksara yang sudah hidup secara menetap dan telah mengenal pembagian sistem kerja juga telah mengenal pakaian. Dibuktikan dengan penemuan alat pemukul kayu yang digunakan untuk menghaluskan kulit kayu sebagai bahan dasar pakaian. Alat ini ditemukan di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan hingga saat ini kebudayaan menghasilkan pakaian dari kulit kayu juga masih berkembang.     

4.    Perhiasan

Selain telah mengenal pakaian mereka juga mengenal perhiasan yang terbuat dari batu-batu kecil yang dihaluskan. Perhiasan tersebut diantaranya gelang, kalung dan anting-anting. Perhiasan ini ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dan ketika mereka meninggal barang-barang tersebut atau barang-barang yang mereka sukai dimasukkan ke dalam peti kubur sebagai bekal kubur, hal ini dimaksudkan agar ketika roh yang telah meninggal bisa tenang dengan membawa barang-barang miliknya.
5.    Batu pipisan dan giling

6.    Gerabah

b.   Aspek ekonomi
bercocok tanam, beternak, perdagangan dengan cara barter
c.    Aspek sosial
 Menetap, bentuk masyarakat agraris, mengenal pembagian kerja dan pengembangan konsep kepercayaan.
Bukti-bukti jika mereka sudah menetap adalah banyak ditemukan bangunan-bangunan batu besar. Banyaknya ditemukan bangunan-bangunan besar sehingga masa neolitik juga disebut dengan masa megalitik yaitu tradisi pendirian bangunan-bangunan besar serta memiliki fungsi.
Penggolongan Tradisi megalitik dibagi menjadi dua yaitu
1.        Megalitik tua (pada masa Neolitik)
Hasil kebudayaan :
a.      Menhir
Menhir merupakan batu berdiri sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang. Mereka menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ada menhir yang berdiri sendiri dan ada juga menhir yang berdiri secara kelompok. Selain sebagai tempat pemujaan, digunakan sebagai media penghormatan, menampung kedatangan roh, sebagai lambang. Menhir banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Tengah.

b.      Dolmen

Dolmen merupakan meja batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan sesaji terhadap roh nenek moyang. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat. Agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas,maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada zaman itu sudah menyakini adanya hubungan antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup.


c.       Pelinggih batu, tembok batu dan jalan batu

2.        Megalitik muda (pada masa Peleometalik/perunggu)
Hasil kebudayaan :
a.      Peti kubur batu

Kubur batu adalah peti jenazah yang terbuat dari batu pipih. Sisinya berdinding papan batu,begitu juga alas dan bidang atasnya. Kubur batu merupakan peti yang papan-papannya lepas satu dari lainnya. Kubur Batu paling banyak ditemukan didaerah Kuningan,Jawa Barat.

b.      Sarkofagus
Sarkofagus adalah peti jenazah yang terbuat dari batu bulat (batu tunggal). Bentuknya seperti lesung atau palung tetapi memiliki tutup. Daerah yang memiliki banyak Sarkofagus adalah di daerah bali. Sarkofagus yang ditemukan didaerah Bali masih dianggap memiliki kekuatan magis hingga saat ini. Didalam Sarkofagus ditemukan tulang-belulang manusia



c.       Batu temu gelang
     Biasanya oleh masyarakat Praaksara digunakan untuk mengikat hewan ternak atau sebagai pondasi bagunan







d.      Waruga

Waruga adalah sebuah kubur batu yang memiliki bentuk kubus ataupun bulat. Waruga terbuat dari batu utuh dan banyak ditemukan di daerah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Waruga biasanya memiliki bentuk seperti rumah.




e.       Arca batu


Nilai-Nilai yang Dapat Kita Petik Dari Kehidupan dan Budaya Masyarakat Praaksara



         Segala kehidupan pasti memiliki sebuah nilai-nilai di dalamnya, begitu juga dengan kehidupan masyarakat Praaksara yang telah ada berjuta tahun lalu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan masyarakat Praaksara dapat kita ambil sebagai pelajaran dan suri tauladan. Nilai-nilai budaya dan tradisi Praaksara masih terlihat dalam kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini. Itulah mengapa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang tidak terhitung jumlahnya....
1.    Nilai religius
Masyarakat praaksara telah memiliki kepercayaan erhadap kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa pohon besar dan tinggi, hutan yang lebat, gua yang gelap dan lainnya ditempati oleh makhluk gaib. Mereka juga meyakini kejadian alam seperti petir, banjir, tanah longsor, banjir, gunung meletus disebabkan oleh perbuatan roh halus. Untuk menghindari malapetaka tersebut maka mereka memuja roh halus. Kepercayaan seperti itu disebut dengan animisme.
2.    Nilai gotong royong
Masyarakat Praaksara mereka telah hidup secara berkelompok. Mereka membangun rumah dengan cara bergotong royong untuk kepentingan bersama. Budaya gotong royong dapat kita lihat pada masa mesolitik ketika mereka berburu binatang serta pada peninggalan masa neolitik berupa bangunan besar karena dapat dipastikan mereka tidak mungkin membangunnya seorang diri tapi melainkan dengan gotong royong.
3.    Nilai keadilan  
Nilai keadilan yang terdapat pada kehidupan masyarakat Praaksara dibuktikan dengan adanya pembagian tugas atau kerja sesuai dengan keahliannya. Tugas berburu binatang dilakukan oleh laki-laki sedangkan tugas meramu dilakukan oleh wanita. Hal tersebut telah mencerminkan sikap adil karena setiap individu mendapatkan tugas masing-masing.
4.    Nilai musyawarah
Nilai musyawarah yang terdapat pada kehidupan masyarakat Praaksara yaitu dapat ditunjukkan dengan dipilihnya pemimpin yang dianggap paling tua serta memiliki aura pemimpin yang dapat mengatur masyarakat dan memberikan untuk memecahkan persoalan yang mereka hadapi.

Kebudayaan Praaksara yang Saat Ini Masih Berkembang Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia


Keanekaragaman budaya di Indonesia tidak lepas dari budaya masyarakat Praaksara. Di Indonesia masih terdapat peninggalan budaya Praaksara yang dapat kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Peninggalan kebudayaan Praaksara yang mudah dijumpai saat ini berupa benda, corak kehidupan sosial ekonomi dan sistem kepercayaan. Sisa-sisa dari kebudayaan masyarakat Praaksara tersebut pada dasarnya masih ada dan masih memiliki kegunaan bagi masyarakat Indonesia bahkan ada yang mengalami perkembangan karena bercampur dengan budaya hindu. Sisa-sisa kebudayaan Praaksara tersebut antara lain adalah...

1.    Sistem kepercayaan
Animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Praaksara. Meskipun Indonesia telah kedatangan banyak agama namun kepercayaan tersebut masih saja eksis di kalangan masyarakat Indonesia. Mereka percaya bahwa roh leluhur dan benda-benda keramat memiliki pengaruh terhadap hidup mereka. Sebagai contoh upacara pemakaman yang ada di Tana Toraja Sulawesi Selatan, ketika penguburan mayat masih menggunakan ritual-ritual. Mereka yang meninggal ditempatkan dalam peti kubur yang terbuat dari kayu kemudian benda-benda kesayangan mereka juga ikut ditaruh ke dalam peti kubur bersama dengan mereka. namun ada yang unik lagi dari pemakaman mereka yaitu setelah mereka dimasukkan ke dalam peti mereka dimasukkan lagi ke dalam gua  kecil atau curug kemudian ditutup. Hal tersebut mengingatkan kita pada prosesi pemakaman masyarakat Praakasara yaitu dengan memasukkan mayat ke dalam batu kubur dengan bekal kuburnya.

2.    Pakaian dari kulit kayu
Selain sistem kepercayaan yang saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, tradisi membuat pakaian dari kulit kayu juga masih dilakukan oleh masyarakat Donggala Sulawesi Tengah. Alat pemukul kayu ditemukan di Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Mereka membuat pakaian dari kulit kayu untuk upacara tradisi tertentu. Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan Praaksara masih melekat di masyarakat Indonesia hingga saat ini.

3.  Alat-alat Dari Batu
Alat-alat batu yang lahir dan berkembang mulai masa Praaksara hingga saat ini masih berkembang di Indonesia. Akan tetapi alat-alat batu yang ada telah mengalami perkembangan bentuk dan fungsi. Beberapa alat tersebut adalah cobek batu dan lesung batu.


Selasa, 20 Februari 2018

Tulungagung: Tak Banyak Orang Mengetahui Sejarah Masjid Tawangsari

Abstrak
Jauh sebelum agama islam datang, daerah Benorowo dulunya menjadi daerah perdikan Kerajaan Medang yang terdapat di Prasasti Pucangan I dan menjadi bawahan Kerajaan Kahuripan pada masa Raja Airlangga. Masyarakatnya menganut agama Hindu Budhha. Setelah agama islam mulai menyebar di Tulungagung dan lepas dari Kerajaan yang bercorak Hindu Budhha, Kerajaan Mataram Islam tampil sebagai kerajaan Islam yang besar. Daerah Benorowo menjadi bawah Kerajaan Mataram Islam. Berkat jasa-jasa Kyai Abu Mansur dan Kyai Ageng Muhammad Besyari dalam membantu Pakubuwono II menjadi raja di Surakarta maka Kyai Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Desa Tawangsari Tulungagung dan Kyai Ageng Muhammad Besyari mendapatkan tanah perdikan di Tegalsari, dan Jetis di Ponorogo pada tahun 1747 Masehi. Berkat perjuangan Kyai Abu Mansur membantu Mangkubumi untuk melawan VOC, beliau ditetapkan sebagai penguasa di Tawangsari dengan diberikan surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1750 Masehi sekaligus menyebarkan Agama Islam. Akhirnya mulailah Agama Islam berkembang di Ngrowo yang sekarang dapat kita kenal dengan sebutan Kabupaten Tulungagung.
Kata kunci: Tulungagung, Kyai Abu Mansur, Masjid Tawangsari

Berkembangnya agama dan kebudayaan islam di pulau jawa, khususnya di wilayah Tulungagung telah memberikan warna baru dalam kehidupan umat islam di daerah tersebut dan sekitarnya sehingga dengan adanya penyebaran agama islam munculah berbagai instrument yang digunakan untuk dakwah dalam rangka memperkenalkan islam dengan damai.

Tulungagung pada Masa Hindu Buddha
Kerajaan Medang yang berpusat di Jawa Tengah pada tahun 898-910 Masehi dipimpin oleh Sri Dharmodaya Rakrayan Watukura Haji Balitung. Pada awal pemerintahannya Haji Balitung mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di Tulungagung yang dikenal sebagai Prasasti Penampihan I dengan angka tahun 820 Saka/898 Masehi. Prasasti tersebut terbuat dari batu dan sekarang berada di halaman Candi Penampihan Desa Geger Kecamatan Sendang Tulungagung.  Prasasti Penampihan I berkaitan dengan anugerah tanah perdikan, dalam sejarah  menunjukkan bahwa Raja Balitung adalah Maharaja Medang yang pertama mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawa Timur dan Bali. Untuk menguasai Jawa Timur Haji Balitung harus menaklukkan Kerajaan Kanjuruhan yang berada di lereng Gunung Kawi. Diperkirakan pada penyerbuan pertama pasukan Haji Balitung mendapat perlawanan sengit. Terpukul mundur ke barat sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis atau daerah Penampihan. Berkat pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan Kubu-Kubu, Haji Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan. Dalam Prasasti Kubu Kubu menyebutkan beberapa tokoh lokal yang mendapat hadiah kain dari Kerajaan Medang. Salah satu tokoh yang dapat dikaitkan dengan wilayah di Tulungagung adalah Dapunta Antyanta Rama Matuha I Panjora.
Pada masa Airlangga terdapat suatu kerajaan kecil di selatan Sungai Brantas yaitu Kerajaan Lodoyong yang dikuasai oleh seorang raksasa wanita memiliki kekuatan besar menganut aliran Siwa Bhairawa. Julukan raksasa hanya merupakan sebuah kiasan karena dalam pandangan Wisnu yang dianut Airlangga, Siwa aliran Bhairawa merupakan aliran yang mempunyai derajat rendah sehingga diumpamakan sebagai raksasa. Sebelum agama islam menyebar di Tulungagung, dulunya Tulungagung merupakan bawahan Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan. Masyarakatnya menganut Agama Hindu, yaitu Siwa Bhairawa. Akhirnya datanglah penyebar Agama Islam pertama kali di Tulungagung yaitu Kyai Abu Mansur. 

KH. Abu Mansur Penyebar Agama Islam Pertama di Tulungagung
Desa Tawangsari terletak di bagian barat Kabupaten Tulungagung. Diperkirakan Agama Islam mulai menyebar di daerah Tulungagung yang dulunya bernama Daerah Ngrowo, sekitar tahun 17 Masehi yang disebarkan oleh KH. Abu Mansur di sebuah daerah yang berstatus Perdikan¹. Daerah tersebut bernama Tawangsari. Beliau merupakan keturunan Adipati Cakraningrat dari Madura yang belajar Agama Islam dengan menjadi santri kepada Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Nama kecil KH. Abu Mansur adalah Bagus Qosim. Beliau mempunyai 4 putra yaitu: (1) Kyai Yusuf (Martontanu/Abu Mansur 2), (2) Kyai Ilyas Winong, (3) Nyai H. Muhsin dan (4) Nyai Djodikromo.
ˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉ
¹           Tanah Perdikan, kata perdikan berasal dari Bahasa Sanskerta “Mahardika” artinya tuan atau master. Dalam buku Ramayana sebutan mahardika oleh para pendeta diartikan bebas dari hidup lahir sebagai seorang kawula yang manunggal. Kaitannya dengan suatu daerah maka daerah tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak.
Perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk mendapatkan tahta Kerajaan di Yogyakarta mendapat bantuan dari Kyai Ageng Muhammad Besyari (Kyai Basyariyah) dan murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur. Kyai Ageng Muhammad Besyari dan KH. Abu Mansur sepaham dan menjadi pengikut Pangeran Mangkubumi dalam hal melakukan perlawanan terhadap VOC. Berkat jasanya tersebut dalam membantu Pangeran Mangkubumi memperoleh kedudukan sebagai Raja Yogyakarta, maka Pangeran Mangkubumi memperkuat kedudukan KH. Abu Mansur sebagai penguasa di Tawangsari dengan memberi surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1750 Masehi. Sebelumnya atas jasanya mengembalikan kedudukan Pakubuwono 2 menjadi raja di Surakarta inilah maka Kyai Ageng Muhammad Besyari mendapat tanah perdikan di Tegalsari, Jetis Ponorogo dan KH. Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Tawangsari Tulungagung pada tahun 1672 Jawa/ 1747 Masehi. Menurut versi tulisan dari “Tulungagung Dalam Rangkaian Sedjarah Indonesia dan Babad” yang disusun oleh pemerintah Kabupaten Tulungagung cetakan tahun 1971 yang belum direvisi menyebutkan, bahwasanya pada tahun 1750 Mangkubumi memberi wewenang sepenuhnya kepada KH. Abu Mansur untuk mendidik dan memperkuat mental orang-orang di daerah tempat tinggalnya, yaitu Tawangsari dengan dasar-dasar nilai ajaran Islam (Ali Imron, 2015: 16)
Setelah mendapat tanah perdikan tersebut, KH. Abu Mansur mulai mengajarkan Agama Islam di daerah Tawangsari yang saat itu keadaannya masih berupa hutan belantara. Dipilihlah daerah tersebut karena berdekatan dengan Sungai Ngrowo dengan alasan agar mudah mengambil air wudhu untuk bersuci sekaligus sebagai sarana transportasi. KH. Abu Mansur mengajarkan Agama Islam dengan melalui dakwah di Kadipaten Ngrowo khususnya Tawangsari, Winong, dan Majan. Selain itu KH. Abu Mansur juga mendirikan sebuah pondok pesantren dan melatih ilmu kanuragan pada masyarakat Tawangsari.

Masjid Tawangasari Sebagai Peninggalan Kyai Abu Mansur
Berkembangnya Agama Islam dan kebudayaan Islam, menggantikan agama dan kebudayaan Hindu Buddha yang telah berlangsung sekitar abad ke-15 hingga abad ke-16 Masehi. Hal ini menyebabkan bermunculan masjid-masjid sebagai tempat beribadah bagi Umat Islam dalam proses islamisasi di Pulau Jawa. Masjid sebagai bangunan arsitektur memiliki fungsi yang dapat dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan umat Islam (Wiryoprayo, 1986: 155). Seiring dengan perjalanan KH. Abu Mansur menyebarkan Agama  Islam di Tawangsari, beliau mendirikan sebuah masjid yang sampai sekarang keberadaan masjid tersebut masih ada petilasannya. Masjid tersebut dinamakan Masjid Tawangsari yang berada di Desa Tawangsari Kecamatan Kedungwaru yang letaknya berdekatan dengan Sungai Ngrowo.
Masjid-masjid pada saat itu memiliki denah bujur sangkar dengan bagian yang tertinggi dan pejal, terdiri atas tiga atau lima susun yang dihiasi dengan terakota bakar yang dikenal dengan nama memolo atau mustaka. linmas. Berbahan kayu jati dan memiliki tempat khotbah dengan hiasan ukiran yang berada di mimbar. Demikian juga umumnya bangunan masjid itu diberi kelengkapan tembok keliling dengan sebuah pintu masuk  berupa gapura dan menara masjid sebagai seruan adzan (Sumarno, Suhartini, 1996: 128-130).
Masjid Tawangsari memiliki atap yang berbentuk tumpang dengan dua tingkat. Masjid ini memiliki tiga bagian yaitu bagian induk atau imam, bagian tengah, dan bagian serambi. Bagian induk digunakan oleh jamaah laki-laki dan juga terdapat mimbar yang digunakan oleh imam. Selanjutnya di bagian tengah digunakan oleh jamaah perempuan. Sedangkan bagian serambi dimanfaatkan sebagai tempat dakwah. Memiliki delapan tiang penyangga atau soko guru yang berbahan kayu jati. Memiliki atap tumpang yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkatan yang paling atas berbentuk limas. Atap berbentuk tumpang ini dalam kepercayaan Agama Hindu menyerupai sebuah gunung dimana sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
Bentuk gapura sebagai pintu masuk ke masjid, di Kabupaten Tulungagung dapat dilihat pada Masjid Tawangsari, Masjid Majan, dan Masjid Kuning. Bentuk gapura tersebut menyerupai gapura paduraksa atau gapura Candi Bentar yang terdapat di Trowulan Mojokerto. Bentuk mihrabnya dibuat melengkung menyerupai bentuk kalamakara, dengan kata lain arsitek  masjid pada awal Islam merupakan perpaduan dari bentuk candi yang telah berakulturasi sesuai dengan keperluan Agama Islam pada masa itu. Mengenai menara masjid dalam perkembangannya mula-mula seruan untuk sembahyang (adzan) dilakukan ditingkat teratas dari bangunan masjid. Namun mengalami perubahan setelah para imigran Arab dan India di Indonesia mempengaruhi kehidupan masjiid, maka dibangunlah menara-menara sebagai bangunan yang menempel atau berdiri sendiri. Masjid-masjid di Tulungagung,  bangunana menara lebih banyak berdiri sendiri dan lepas dari bangunan masjid. Seperti Masjid Al-Fatah Mangunsari dan Masjid Majan. Sebagai ciri khas biasanya dilakukan dengan memukul bedug atau tabuh sebagai tanda akan dimulainya  waktu sholat. Masjid-masjid kuno di Tulungagung umumnya letaknya ditentukan dalam suatu tempat seorang wali atau ahli agama yang termasyur dimakamkan. Hal tersebut dapat dilihat sampai saat ini, seperti Masjid Majan, Masjid Sunan Kuning, Masjid Al-Fatah, dan Masjid Tawangsari. Di sebelah barat masjid terdapat makam keramat yang dijadikan sebagai tempat ziarah bagi yang masih mengangap sebagai tempat yang sangat dihormati dan disakralkan.

Kesimpulan  
Sebelum Agama Islam menyebar di daerah Tulunggagung, daerah tersebut merupakan daerah perdikan Kerajaan Medang. Pada masa Kerajaan Kahuripan yang dikuasai oleh Airlangga, dalam cerita “Babad Tulungagung” daerah  tersebut terdapat kerajaan kecil yang bernama Lodoyong yang dipimpin oleh seorang raksasa wanita yang kuat. Pada masa itu masyarakat setempat masih menganut kepercayaan dinamisme, animisme, dan Hindu Buddha. Setelah Agama Islam datang yang disebarkan oleh KH. Abu Mansur kedudukan Agama Hindu Buddha mulai tergeser. Beliau menyebarkan Agama Islam dengan cara berdakawah, mendirikan pondok pesantren, dan memdirikan sebuah masjid. Masjid tersebut kini masih ada dan terletak di Desa Tawangsari Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. Hingga kini Masjid Tawangsari masih digunakan oleh penduduk setempat.

Rujukan
Ali Imron Al Akhyar, A. 2015. Mutiara di Tengah Kota Tulungagung: Menelusuri Jejak-Jejak Kesejarahan Masjid Agung Al-Munawwar. Yogyakarta: Depublish
Sumarno, Sumartini, T, ed. 1996. Sejarah Budaya 4. Jakarta: Yudhistira
Wiryoprayo, Z. 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina Ilmu
http://JAWA%20JAMAN%20DULU%20%20SEJARAH%20TULUNG%20AGUNG.htm diakses pada tanggal 14 Maret 2017


Praaksara: Peninggalan Zaman Paleolitik dan Mesolitik atau Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana Serta Lanjut

Pernahkah kita berpikir mengenai peralatan masak yang ada di dapur ibu kita kemudian upacara pemakaman yang ada di Tanah Toraja hingga kep...