Abstrak
Jauh
sebelum agama islam datang, daerah Benorowo dulunya menjadi daerah perdikan
Kerajaan Medang yang terdapat di Prasasti Pucangan I dan menjadi bawahan
Kerajaan Kahuripan pada masa Raja Airlangga. Masyarakatnya menganut agama Hindu
Budhha. Setelah agama islam mulai menyebar di Tulungagung dan lepas dari
Kerajaan yang bercorak Hindu Budhha, Kerajaan Mataram Islam tampil sebagai
kerajaan Islam yang besar. Daerah Benorowo menjadi bawah Kerajaan Mataram
Islam. Berkat jasa-jasa Kyai Abu Mansur dan Kyai Ageng Muhammad Besyari dalam
membantu Pakubuwono II menjadi raja di Surakarta maka Kyai Abu Mansur mendapat
hadiah tanah perdikan di Desa Tawangsari Tulungagung dan Kyai Ageng Muhammad
Besyari mendapatkan tanah perdikan di Tegalsari, dan Jetis di Ponorogo pada tahun
1747 Masehi. Berkat perjuangan Kyai Abu Mansur membantu Mangkubumi untuk
melawan VOC, beliau ditetapkan sebagai penguasa di Tawangsari dengan diberikan
surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1750 Masehi sekaligus
menyebarkan Agama Islam. Akhirnya mulailah Agama Islam berkembang di Ngrowo
yang sekarang dapat kita kenal dengan sebutan Kabupaten Tulungagung.
Kata kunci:
Tulungagung, Kyai Abu Mansur, Masjid Tawangsari
Berkembangnya
agama dan kebudayaan islam di pulau jawa, khususnya di wilayah Tulungagung
telah memberikan warna baru dalam kehidupan umat islam di daerah tersebut dan
sekitarnya sehingga dengan adanya penyebaran agama islam munculah berbagai
instrument yang digunakan untuk dakwah dalam rangka memperkenalkan islam dengan
damai.
Tulungagung pada Masa Hindu Buddha
Kerajaan Medang yang
berpusat di Jawa Tengah pada tahun 898-910 Masehi dipimpin oleh Sri Dharmodaya
Rakrayan Watukura Haji Balitung. Pada awal pemerintahannya Haji Balitung
mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di Tulungagung yang dikenal sebagai Prasasti
Penampihan I dengan angka tahun 820 Saka/898 Masehi. Prasasti tersebut terbuat
dari batu dan sekarang berada di halaman Candi Penampihan Desa Geger Kecamatan
Sendang Tulungagung. Prasasti Penampihan
I berkaitan dengan anugerah tanah perdikan, dalam sejarah menunjukkan bahwa Raja Balitung adalah
Maharaja Medang yang pertama mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawa Timur dan
Bali. Untuk menguasai Jawa Timur Haji Balitung harus menaklukkan Kerajaan
Kanjuruhan yang berada di lereng Gunung Kawi. Diperkirakan pada penyerbuan pertama pasukan Haji
Balitung mendapat perlawanan sengit. Terpukul mundur ke barat sampai akhirnya
berkubu di gunung Wilis atau daerah Penampihan. Berkat pertolongan agung para
tokoh dan penduduk Penampihan Kubu-Kubu, Haji Balitung berhasil menaklukkan
Kanjuruhan. Dalam Prasasti Kubu Kubu menyebutkan beberapa tokoh lokal yang
mendapat hadiah kain dari Kerajaan Medang. Salah satu tokoh yang dapat
dikaitkan dengan wilayah di Tulungagung adalah Dapunta Antyanta Rama Matuha I
Panjora.
Pada masa Airlangga terdapat
suatu kerajaan kecil di selatan Sungai Brantas yaitu Kerajaan Lodoyong yang
dikuasai oleh seorang raksasa wanita memiliki kekuatan besar menganut aliran
Siwa Bhairawa. Julukan raksasa hanya merupakan sebuah kiasan karena dalam
pandangan Wisnu yang dianut Airlangga, Siwa aliran Bhairawa merupakan aliran
yang mempunyai derajat rendah sehingga diumpamakan sebagai raksasa. Sebelum agama
islam menyebar di Tulungagung, dulunya Tulungagung merupakan bawahan Kerajaan
Medang dan Kerajaan Kahuripan. Masyarakatnya menganut Agama Hindu, yaitu Siwa
Bhairawa. Akhirnya datanglah penyebar Agama Islam pertama kali di Tulungagung
yaitu Kyai Abu Mansur.
KH. Abu Mansur Penyebar Agama Islam
Pertama di Tulungagung
Desa Tawangsari terletak di bagian barat Kabupaten
Tulungagung. Diperkirakan Agama Islam mulai menyebar di daerah Tulungagung yang
dulunya bernama Daerah Ngrowo, sekitar tahun 17 Masehi yang disebarkan oleh KH.
Abu Mansur di sebuah daerah yang berstatus Perdikan¹. Daerah tersebut bernama
Tawangsari. Beliau merupakan keturunan Adipati Cakraningrat dari Madura yang
belajar Agama Islam dengan menjadi santri kepada Kyai Ageng Muhammad Besari di
Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Nama kecil KH. Abu Mansur adalah Bagus Qosim.
Beliau mempunyai 4 putra yaitu: (1) Kyai Yusuf (Martontanu/Abu Mansur 2), (2) Kyai
Ilyas Winong, (3) Nyai H. Muhsin dan (4) Nyai Djodikromo.
ˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉ
¹ Tanah Perdikan, kata perdikan berasal
dari Bahasa Sanskerta “Mahardika” artinya tuan atau master. Dalam buku Ramayana
sebutan mahardika oleh para pendeta diartikan bebas dari hidup lahir sebagai
seorang kawula yang manunggal. Kaitannya dengan suatu daerah maka daerah
tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak.
Perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk mendapatkan
tahta Kerajaan di Yogyakarta mendapat bantuan dari Kyai Ageng Muhammad Besyari
(Kyai Basyariyah) dan murid- muridnya, termasuk KH.
Abu Mansur. Kyai Ageng Muhammad Besyari dan KH. Abu Mansur sepaham dan menjadi
pengikut Pangeran Mangkubumi dalam hal melakukan perlawanan terhadap VOC.
Berkat jasanya tersebut dalam membantu Pangeran Mangkubumi memperoleh kedudukan
sebagai Raja Yogyakarta, maka Pangeran Mangkubumi memperkuat kedudukan KH. Abu
Mansur sebagai penguasa di Tawangsari dengan memberi surat tugas atas nama
Pangeran Mangkubumi tahun 1750 Masehi. Sebelumnya atas jasanya
mengembalikan kedudukan Pakubuwono 2 menjadi raja di Surakarta inilah maka Kyai
Ageng Muhammad Besyari mendapat tanah perdikan di Tegalsari, Jetis Ponorogo dan
KH. Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Tawangsari Tulungagung pada
tahun 1672 Jawa/ 1747 Masehi. Menurut versi tulisan dari “Tulungagung Dalam
Rangkaian Sedjarah Indonesia dan Babad” yang disusun oleh pemerintah Kabupaten
Tulungagung cetakan tahun 1971 yang belum direvisi menyebutkan, bahwasanya pada
tahun 1750 Mangkubumi memberi wewenang sepenuhnya kepada KH. Abu Mansur untuk
mendidik dan memperkuat mental orang-orang di daerah tempat tinggalnya, yaitu
Tawangsari dengan dasar-dasar nilai ajaran Islam (Ali Imron, 2015: 16)
Setelah
mendapat tanah perdikan tersebut, KH. Abu Mansur mulai mengajarkan Agama Islam
di daerah Tawangsari yang saat itu keadaannya masih berupa hutan belantara.
Dipilihlah daerah tersebut karena berdekatan dengan Sungai Ngrowo dengan alasan
agar mudah mengambil air wudhu untuk bersuci sekaligus sebagai sarana
transportasi. KH. Abu Mansur mengajarkan Agama Islam dengan melalui dakwah di
Kadipaten Ngrowo khususnya Tawangsari, Winong, dan Majan. Selain itu KH. Abu
Mansur juga mendirikan sebuah pondok pesantren dan melatih ilmu kanuragan pada
masyarakat Tawangsari.
Masjid
Tawangasari Sebagai Peninggalan Kyai Abu Mansur
Berkembangnya Agama
Islam dan kebudayaan Islam, menggantikan agama dan kebudayaan Hindu Buddha yang
telah berlangsung sekitar abad ke-15 hingga abad ke-16 Masehi. Hal ini
menyebabkan bermunculan masjid-masjid sebagai tempat beribadah bagi Umat Islam
dalam proses islamisasi di Pulau Jawa. Masjid sebagai bangunan arsitektur
memiliki fungsi yang dapat dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan umat Islam
(Wiryoprayo, 1986: 155). Seiring dengan perjalanan KH. Abu Mansur menyebarkan
Agama Islam di Tawangsari, beliau mendirikan
sebuah masjid yang sampai sekarang keberadaan masjid tersebut masih ada
petilasannya. Masjid tersebut dinamakan Masjid Tawangsari yang berada di Desa
Tawangsari Kecamatan Kedungwaru yang letaknya berdekatan dengan Sungai Ngrowo.
Masjid-masjid pada saat
itu memiliki denah bujur sangkar dengan bagian yang tertinggi dan pejal,
terdiri atas tiga atau lima susun yang dihiasi dengan terakota bakar yang
dikenal dengan nama memolo atau mustaka. linmas. Berbahan kayu jati dan
memiliki tempat khotbah dengan hiasan ukiran yang berada di mimbar. Demikian
juga umumnya bangunan masjid itu diberi kelengkapan tembok keliling dengan
sebuah pintu masuk berupa gapura dan
menara masjid sebagai seruan adzan (Sumarno, Suhartini, 1996: 128-130).
Masjid Tawangsari memiliki
atap yang berbentuk tumpang dengan dua tingkat. Masjid ini memiliki tiga bagian
yaitu bagian induk atau imam, bagian tengah, dan bagian serambi. Bagian induk
digunakan oleh jamaah laki-laki dan juga terdapat mimbar yang digunakan oleh
imam. Selanjutnya di bagian tengah digunakan oleh jamaah perempuan. Sedangkan
bagian serambi dimanfaatkan sebagai tempat dakwah. Memiliki delapan tiang
penyangga atau soko guru yang
berbahan kayu jati. Memiliki atap tumpang yaitu atap yang bersusun, semakin ke
atas semakin kecil dan tingkatan yang paling atas berbentuk limas. Atap
berbentuk tumpang ini dalam kepercayaan Agama Hindu menyerupai sebuah gunung
dimana sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
Bentuk gapura sebagai
pintu masuk ke masjid, di Kabupaten Tulungagung dapat dilihat pada Masjid
Tawangsari, Masjid Majan, dan Masjid Kuning. Bentuk gapura tersebut menyerupai
gapura paduraksa atau gapura Candi
Bentar yang terdapat di Trowulan Mojokerto. Bentuk mihrabnya dibuat melengkung
menyerupai bentuk kalamakara, dengan
kata lain arsitek masjid pada awal Islam
merupakan perpaduan dari bentuk candi yang telah berakulturasi sesuai dengan
keperluan Agama Islam pada masa itu. Mengenai menara masjid dalam
perkembangannya mula-mula seruan untuk sembahyang (adzan) dilakukan ditingkat
teratas dari bangunan masjid. Namun mengalami perubahan setelah para imigran
Arab dan India di Indonesia mempengaruhi kehidupan masjiid, maka dibangunlah
menara-menara sebagai bangunan yang menempel atau berdiri sendiri.
Masjid-masjid di Tulungagung, bangunana
menara lebih banyak berdiri sendiri dan lepas dari bangunan masjid. Seperti
Masjid Al-Fatah Mangunsari dan Masjid Majan. Sebagai ciri khas biasanya dilakukan
dengan memukul bedug atau tabuh
sebagai tanda akan dimulainya waktu
sholat. Masjid-masjid kuno di Tulungagung umumnya letaknya ditentukan dalam
suatu tempat seorang wali atau ahli agama yang termasyur dimakamkan. Hal
tersebut dapat dilihat sampai saat ini, seperti Masjid Majan, Masjid Sunan
Kuning, Masjid Al-Fatah, dan Masjid Tawangsari. Di sebelah barat masjid
terdapat makam keramat yang dijadikan sebagai tempat ziarah bagi yang masih
mengangap sebagai tempat yang sangat dihormati dan disakralkan.
Kesimpulan
Sebelum
Agama Islam menyebar di daerah Tulunggagung, daerah tersebut merupakan daerah
perdikan Kerajaan Medang. Pada masa Kerajaan Kahuripan yang dikuasai oleh Airlangga,
dalam cerita “Babad Tulungagung” daerah
tersebut terdapat kerajaan kecil yang bernama Lodoyong yang dipimpin
oleh seorang raksasa wanita yang kuat. Pada masa itu masyarakat setempat masih
menganut kepercayaan dinamisme, animisme, dan Hindu Buddha. Setelah Agama Islam
datang yang disebarkan oleh KH. Abu Mansur kedudukan Agama Hindu Buddha mulai
tergeser. Beliau menyebarkan Agama Islam dengan cara berdakawah, mendirikan
pondok pesantren, dan memdirikan sebuah masjid. Masjid tersebut kini masih ada
dan terletak di Desa Tawangsari Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. Hingga
kini Masjid Tawangsari masih digunakan oleh penduduk setempat.
Rujukan
Ali Imron Al
Akhyar, A. 2015. Mutiara di Tengah Kota
Tulungagung: Menelusuri Jejak-Jejak Kesejarahan Masjid Agung Al-Munawwar. Yogyakarta:
Depublish
Sumarno,
Sumartini, T, ed. 1996. Sejarah Budaya 4.
Jakarta: Yudhistira
Wiryoprayo, Z.
1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di
Jawa Timur. Surabaya: Bina Ilmu
http://JAWA%20JAMAN%20DULU%20%20SEJARAH%20TULUNG%20AGUNG.htm diakses pada
tanggal 14 Maret 2017
Http://muqoddimahbgrowo.wordpress.com/2017/01/15/tulungagung-masjid-beratapkan.htm diakses pada
tanggal 15 Maret 2017
Kontennya bermanfaat. Trims
BalasHapuswichem