Selasa, 20 Februari 2018

Tulungagung: Tak Banyak Orang Mengetahui Sejarah Masjid Tawangsari

Abstrak
Jauh sebelum agama islam datang, daerah Benorowo dulunya menjadi daerah perdikan Kerajaan Medang yang terdapat di Prasasti Pucangan I dan menjadi bawahan Kerajaan Kahuripan pada masa Raja Airlangga. Masyarakatnya menganut agama Hindu Budhha. Setelah agama islam mulai menyebar di Tulungagung dan lepas dari Kerajaan yang bercorak Hindu Budhha, Kerajaan Mataram Islam tampil sebagai kerajaan Islam yang besar. Daerah Benorowo menjadi bawah Kerajaan Mataram Islam. Berkat jasa-jasa Kyai Abu Mansur dan Kyai Ageng Muhammad Besyari dalam membantu Pakubuwono II menjadi raja di Surakarta maka Kyai Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Desa Tawangsari Tulungagung dan Kyai Ageng Muhammad Besyari mendapatkan tanah perdikan di Tegalsari, dan Jetis di Ponorogo pada tahun 1747 Masehi. Berkat perjuangan Kyai Abu Mansur membantu Mangkubumi untuk melawan VOC, beliau ditetapkan sebagai penguasa di Tawangsari dengan diberikan surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1750 Masehi sekaligus menyebarkan Agama Islam. Akhirnya mulailah Agama Islam berkembang di Ngrowo yang sekarang dapat kita kenal dengan sebutan Kabupaten Tulungagung.
Kata kunci: Tulungagung, Kyai Abu Mansur, Masjid Tawangsari

Berkembangnya agama dan kebudayaan islam di pulau jawa, khususnya di wilayah Tulungagung telah memberikan warna baru dalam kehidupan umat islam di daerah tersebut dan sekitarnya sehingga dengan adanya penyebaran agama islam munculah berbagai instrument yang digunakan untuk dakwah dalam rangka memperkenalkan islam dengan damai.

Tulungagung pada Masa Hindu Buddha
Kerajaan Medang yang berpusat di Jawa Tengah pada tahun 898-910 Masehi dipimpin oleh Sri Dharmodaya Rakrayan Watukura Haji Balitung. Pada awal pemerintahannya Haji Balitung mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di Tulungagung yang dikenal sebagai Prasasti Penampihan I dengan angka tahun 820 Saka/898 Masehi. Prasasti tersebut terbuat dari batu dan sekarang berada di halaman Candi Penampihan Desa Geger Kecamatan Sendang Tulungagung.  Prasasti Penampihan I berkaitan dengan anugerah tanah perdikan, dalam sejarah  menunjukkan bahwa Raja Balitung adalah Maharaja Medang yang pertama mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawa Timur dan Bali. Untuk menguasai Jawa Timur Haji Balitung harus menaklukkan Kerajaan Kanjuruhan yang berada di lereng Gunung Kawi. Diperkirakan pada penyerbuan pertama pasukan Haji Balitung mendapat perlawanan sengit. Terpukul mundur ke barat sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis atau daerah Penampihan. Berkat pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan Kubu-Kubu, Haji Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan. Dalam Prasasti Kubu Kubu menyebutkan beberapa tokoh lokal yang mendapat hadiah kain dari Kerajaan Medang. Salah satu tokoh yang dapat dikaitkan dengan wilayah di Tulungagung adalah Dapunta Antyanta Rama Matuha I Panjora.
Pada masa Airlangga terdapat suatu kerajaan kecil di selatan Sungai Brantas yaitu Kerajaan Lodoyong yang dikuasai oleh seorang raksasa wanita memiliki kekuatan besar menganut aliran Siwa Bhairawa. Julukan raksasa hanya merupakan sebuah kiasan karena dalam pandangan Wisnu yang dianut Airlangga, Siwa aliran Bhairawa merupakan aliran yang mempunyai derajat rendah sehingga diumpamakan sebagai raksasa. Sebelum agama islam menyebar di Tulungagung, dulunya Tulungagung merupakan bawahan Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan. Masyarakatnya menganut Agama Hindu, yaitu Siwa Bhairawa. Akhirnya datanglah penyebar Agama Islam pertama kali di Tulungagung yaitu Kyai Abu Mansur. 

KH. Abu Mansur Penyebar Agama Islam Pertama di Tulungagung
Desa Tawangsari terletak di bagian barat Kabupaten Tulungagung. Diperkirakan Agama Islam mulai menyebar di daerah Tulungagung yang dulunya bernama Daerah Ngrowo, sekitar tahun 17 Masehi yang disebarkan oleh KH. Abu Mansur di sebuah daerah yang berstatus Perdikan¹. Daerah tersebut bernama Tawangsari. Beliau merupakan keturunan Adipati Cakraningrat dari Madura yang belajar Agama Islam dengan menjadi santri kepada Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Nama kecil KH. Abu Mansur adalah Bagus Qosim. Beliau mempunyai 4 putra yaitu: (1) Kyai Yusuf (Martontanu/Abu Mansur 2), (2) Kyai Ilyas Winong, (3) Nyai H. Muhsin dan (4) Nyai Djodikromo.
ˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉˉ
¹           Tanah Perdikan, kata perdikan berasal dari Bahasa Sanskerta “Mahardika” artinya tuan atau master. Dalam buku Ramayana sebutan mahardika oleh para pendeta diartikan bebas dari hidup lahir sebagai seorang kawula yang manunggal. Kaitannya dengan suatu daerah maka daerah tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak.
Perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk mendapatkan tahta Kerajaan di Yogyakarta mendapat bantuan dari Kyai Ageng Muhammad Besyari (Kyai Basyariyah) dan murid- muridnya, termasuk KH. Abu Mansur. Kyai Ageng Muhammad Besyari dan KH. Abu Mansur sepaham dan menjadi pengikut Pangeran Mangkubumi dalam hal melakukan perlawanan terhadap VOC. Berkat jasanya tersebut dalam membantu Pangeran Mangkubumi memperoleh kedudukan sebagai Raja Yogyakarta, maka Pangeran Mangkubumi memperkuat kedudukan KH. Abu Mansur sebagai penguasa di Tawangsari dengan memberi surat tugas atas nama Pangeran Mangkubumi tahun 1750 Masehi. Sebelumnya atas jasanya mengembalikan kedudukan Pakubuwono 2 menjadi raja di Surakarta inilah maka Kyai Ageng Muhammad Besyari mendapat tanah perdikan di Tegalsari, Jetis Ponorogo dan KH. Abu Mansur mendapat hadiah tanah perdikan di Tawangsari Tulungagung pada tahun 1672 Jawa/ 1747 Masehi. Menurut versi tulisan dari “Tulungagung Dalam Rangkaian Sedjarah Indonesia dan Babad” yang disusun oleh pemerintah Kabupaten Tulungagung cetakan tahun 1971 yang belum direvisi menyebutkan, bahwasanya pada tahun 1750 Mangkubumi memberi wewenang sepenuhnya kepada KH. Abu Mansur untuk mendidik dan memperkuat mental orang-orang di daerah tempat tinggalnya, yaitu Tawangsari dengan dasar-dasar nilai ajaran Islam (Ali Imron, 2015: 16)
Setelah mendapat tanah perdikan tersebut, KH. Abu Mansur mulai mengajarkan Agama Islam di daerah Tawangsari yang saat itu keadaannya masih berupa hutan belantara. Dipilihlah daerah tersebut karena berdekatan dengan Sungai Ngrowo dengan alasan agar mudah mengambil air wudhu untuk bersuci sekaligus sebagai sarana transportasi. KH. Abu Mansur mengajarkan Agama Islam dengan melalui dakwah di Kadipaten Ngrowo khususnya Tawangsari, Winong, dan Majan. Selain itu KH. Abu Mansur juga mendirikan sebuah pondok pesantren dan melatih ilmu kanuragan pada masyarakat Tawangsari.

Masjid Tawangasari Sebagai Peninggalan Kyai Abu Mansur
Berkembangnya Agama Islam dan kebudayaan Islam, menggantikan agama dan kebudayaan Hindu Buddha yang telah berlangsung sekitar abad ke-15 hingga abad ke-16 Masehi. Hal ini menyebabkan bermunculan masjid-masjid sebagai tempat beribadah bagi Umat Islam dalam proses islamisasi di Pulau Jawa. Masjid sebagai bangunan arsitektur memiliki fungsi yang dapat dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan umat Islam (Wiryoprayo, 1986: 155). Seiring dengan perjalanan KH. Abu Mansur menyebarkan Agama  Islam di Tawangsari, beliau mendirikan sebuah masjid yang sampai sekarang keberadaan masjid tersebut masih ada petilasannya. Masjid tersebut dinamakan Masjid Tawangsari yang berada di Desa Tawangsari Kecamatan Kedungwaru yang letaknya berdekatan dengan Sungai Ngrowo.
Masjid-masjid pada saat itu memiliki denah bujur sangkar dengan bagian yang tertinggi dan pejal, terdiri atas tiga atau lima susun yang dihiasi dengan terakota bakar yang dikenal dengan nama memolo atau mustaka. linmas. Berbahan kayu jati dan memiliki tempat khotbah dengan hiasan ukiran yang berada di mimbar. Demikian juga umumnya bangunan masjid itu diberi kelengkapan tembok keliling dengan sebuah pintu masuk  berupa gapura dan menara masjid sebagai seruan adzan (Sumarno, Suhartini, 1996: 128-130).
Masjid Tawangsari memiliki atap yang berbentuk tumpang dengan dua tingkat. Masjid ini memiliki tiga bagian yaitu bagian induk atau imam, bagian tengah, dan bagian serambi. Bagian induk digunakan oleh jamaah laki-laki dan juga terdapat mimbar yang digunakan oleh imam. Selanjutnya di bagian tengah digunakan oleh jamaah perempuan. Sedangkan bagian serambi dimanfaatkan sebagai tempat dakwah. Memiliki delapan tiang penyangga atau soko guru yang berbahan kayu jati. Memiliki atap tumpang yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkatan yang paling atas berbentuk limas. Atap berbentuk tumpang ini dalam kepercayaan Agama Hindu menyerupai sebuah gunung dimana sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
Bentuk gapura sebagai pintu masuk ke masjid, di Kabupaten Tulungagung dapat dilihat pada Masjid Tawangsari, Masjid Majan, dan Masjid Kuning. Bentuk gapura tersebut menyerupai gapura paduraksa atau gapura Candi Bentar yang terdapat di Trowulan Mojokerto. Bentuk mihrabnya dibuat melengkung menyerupai bentuk kalamakara, dengan kata lain arsitek  masjid pada awal Islam merupakan perpaduan dari bentuk candi yang telah berakulturasi sesuai dengan keperluan Agama Islam pada masa itu. Mengenai menara masjid dalam perkembangannya mula-mula seruan untuk sembahyang (adzan) dilakukan ditingkat teratas dari bangunan masjid. Namun mengalami perubahan setelah para imigran Arab dan India di Indonesia mempengaruhi kehidupan masjiid, maka dibangunlah menara-menara sebagai bangunan yang menempel atau berdiri sendiri. Masjid-masjid di Tulungagung,  bangunana menara lebih banyak berdiri sendiri dan lepas dari bangunan masjid. Seperti Masjid Al-Fatah Mangunsari dan Masjid Majan. Sebagai ciri khas biasanya dilakukan dengan memukul bedug atau tabuh sebagai tanda akan dimulainya  waktu sholat. Masjid-masjid kuno di Tulungagung umumnya letaknya ditentukan dalam suatu tempat seorang wali atau ahli agama yang termasyur dimakamkan. Hal tersebut dapat dilihat sampai saat ini, seperti Masjid Majan, Masjid Sunan Kuning, Masjid Al-Fatah, dan Masjid Tawangsari. Di sebelah barat masjid terdapat makam keramat yang dijadikan sebagai tempat ziarah bagi yang masih mengangap sebagai tempat yang sangat dihormati dan disakralkan.

Kesimpulan  
Sebelum Agama Islam menyebar di daerah Tulunggagung, daerah tersebut merupakan daerah perdikan Kerajaan Medang. Pada masa Kerajaan Kahuripan yang dikuasai oleh Airlangga, dalam cerita “Babad Tulungagung” daerah  tersebut terdapat kerajaan kecil yang bernama Lodoyong yang dipimpin oleh seorang raksasa wanita yang kuat. Pada masa itu masyarakat setempat masih menganut kepercayaan dinamisme, animisme, dan Hindu Buddha. Setelah Agama Islam datang yang disebarkan oleh KH. Abu Mansur kedudukan Agama Hindu Buddha mulai tergeser. Beliau menyebarkan Agama Islam dengan cara berdakawah, mendirikan pondok pesantren, dan memdirikan sebuah masjid. Masjid tersebut kini masih ada dan terletak di Desa Tawangsari Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. Hingga kini Masjid Tawangsari masih digunakan oleh penduduk setempat.

Rujukan
Ali Imron Al Akhyar, A. 2015. Mutiara di Tengah Kota Tulungagung: Menelusuri Jejak-Jejak Kesejarahan Masjid Agung Al-Munawwar. Yogyakarta: Depublish
Sumarno, Sumartini, T, ed. 1996. Sejarah Budaya 4. Jakarta: Yudhistira
Wiryoprayo, Z. 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina Ilmu
http://JAWA%20JAMAN%20DULU%20%20SEJARAH%20TULUNG%20AGUNG.htm diakses pada tanggal 14 Maret 2017


1 komentar:

Praaksara: Peninggalan Zaman Paleolitik dan Mesolitik atau Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana Serta Lanjut

Pernahkah kita berpikir mengenai peralatan masak yang ada di dapur ibu kita kemudian upacara pemakaman yang ada di Tanah Toraja hingga kep...